Proses transisi politik pasca reformasi
yang berkepanjangan memunculkan berbagai ketidakpatstian –
ketidakpastian hukum yang mengakibatkan sulitnya mengimplementasikan
berbagai kebijakan lingkungan hidup secara konsisten. Meskipun secara
formal pemerintah Indonesia telah (berulang kali) menegaskan komitmennya
untuk mengelola sumber daya alam secara lestari, tetapi situasi di
lapangan tampaknya jauh panggang dari api. Peraturan yang tumpang
tindih, konflik sosial yang melibatkan berbagai elemen masyarakat,
perencanaan pengelolaan lingkungan yang tidak akurat, kurangnya
koordinasi, serta maraknya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang
merata di semua strata, mengakibatkan realitas pengelolaan lingkungan
hidup di Indonesia makin menjauh dari komitmen normatif “pembangunan
berwawasan lingkungan” yang dicanangkannya sendiri (Bank Dunia, 2001).
Dalam rangka penyelenggaraan pembangunan berwawasan lingkungan yang
aspiratif, pelaksanaan pembangunan harus bertumpu pada prinsip manfaat
dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan
keterpaduan. Kegagalan pemerintah dalam memahami (dan memenuhi)
aspirasi masyarakat dapat memicu konflik vertikal antara pemerintah
pusat dan daerah serta konflik horisontal antar elemen masyarakat yang
(bisa) bermuara pada anarki. Praktik pembangunan berasaskan “keadilan”
dan “pemerataan” yang manipulatif dan diskriminatif, melahirkan
tuntutan paradigma pembangunan yang baru yakni pembangunan yang adil dan
proporsional. Bukan ”adil dan merata”, karena karena konsep
“pemerataan“ dirasakan telah mencederai rasa keadilan masyarakat lokal.
Oleh karenanya, masyarakat lokal dan daerah penghasil selayaknya
memperoleh distribusi manfaat terbesar dari pengelolaan sumberdaya alam. Artinya, perhatian terhadap aspirasi lokal yang berkeadilan (seharusnya) menjadi dasar pijakan pemerintah di dalam melaksanakan pembangunan berwawasan lingkungan yang ”proporsional” dan ”partisipatif”.
Berbagai pendekatan terus digali untuk mencoba mengimplementasikan konsep pembangunan berwawasan lingkungan yang adil dan menyejahterakan, serta mengedepankan prinsip perimbangan keuangan pusat dan daerah yang lebih proporsional dan partisipatif. Salah satu konsep dalam penyajian indikator pembangunan yang (dianggap) sesuai dengan prinsip pembangunan berwawasan lingkungan adalah konsep Produk Domestik Regional Bruto – Hijau (PDRB Hijau). Dengan diterapkannya konsep PDRB Hijau diharapkan mampu mendorong adanya pembagian manfaat yang lebih berimbang (proporsional) antara pusat dan daerah serta dapat menggerakkan partisipasi aktif masyarakat (lokal) dalam pembangunan.
Sumber http://environmentalsanitation.wordpress.com