Pancasila sebagai paradigma dimaksudkan bahwa Pancasila sebagai
sistem nilai acuan, kerangka-acuan berpikir, pola-acuan berpikir atau
jelasnya sebagaisistem nilai yang dijadikan kerangka landasan, kerangka
cara, dan sekaligus kerangka arah/tujuan bagi ‘yang menyandangnya’.
Yang menyandangnya itu di antaranya:
- Bidang Politik
- Bidang Ekonomi
- Bidang Social Budaya
- Bidang Hukum
- Bidang kehidupan antar umat beragama, Memahami asal mula Pancasila.
I. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan.
Istilah paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu
pengetahuan. Menurut Thomas Kuhn, Orang yang pertama kali mengemukakan
istilah tersebut menyatakan bahwa ilmu pada waktu tertentu didominasi
oleh suatu paradigma.
Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa
yang menjadi pokok persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Istilah
paradigma makin lama makin berkembang tidak hanya di bidang ilmu
pengetahuan, tetapi pada bidang lain seperti bidang politik, hukum,
sosial dan ekonomi.
Paradigma kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka
pikir, kerangka bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok ukur,
parameter, arah dan tujuan. Sesuatu dijadikan paradigma berarti sesuatu
itu dijadikan sebagai kerangka, acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan
tujuan dari sebuah kegiatan.
Dengan demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting dalam
melaksanakan segala hal dalam kehidupan manusia. Pancasila sebagai
paradigma, artinya nilai-nilai dasar pancasila secara normatif menjadi
dasar, kerangka acuan, dan tolok ukur segenap aspek pembangunan nasional
yang dijalankan di Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi atas
pengakuan dan penerimaan bangsa Indonesia atas Pancasila sebagai dasar
negara dan ideologi nasional.
Hal ini sesuai dengan kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah dasar
negara Indonesia, sedangkan negara merupakan organisasi atau
persekutuan hidup manusia maka tidak berlebihan apabila pancasila
menjadi landasan dan tolok ukur penyelenggaraan bernegara termasuk dalam
melaksanakan pembangunan.
Nilai-nilai dasar Pancasila itu dikembangkan atas dasar hakikat
manusia. Hakikat manusia menurut Pancasila adalah makhluk monopluralis.
Kodrat manusia yang monopluralis tersebut mempunyai ciri-ciri, antara
lain:
a. susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa dan raga
b. sifat kodrat manusia sebagai individu sekaligus sosial
c. kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk tuhan.
b. sifat kodrat manusia sebagai individu sekaligus sosial
c. kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk tuhan.
Berdasarkan itu, pembangunan nasional diarahkan sebagai upaya
meningkatkan harkat dan martabat manusia yang meliputi aspek jiwa,
raga,pribadi, sosial, dan aspek ketuhanan. Secara singkat, pembangunan
nasional sebagai upaya peningkatan manusia secara totalitas.
Pembangunan sosial harus mampu mengembangkan harkat dan martabat
manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu, pembangunan dilaksanakan di
berbagai bidang yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia.
Pembangunan, meliputi bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan
pertahanan keamanan.
Pancasila menjadi paradigma dalam pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
1. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Politik
Manusia Indonesia
selaku warga negara harus ditempatkan sebagai subjek atau pelaku politik
bukan sekadar objek politik. Pancasila bertolak dari kodrat manusia
maka pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat
manusia. Sistem politik Indonesia yang bertolak dari manusia sebagai
subjek harus mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat.
Kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem
politik Indonesia yang sesuai pancasila sebagai paradigma adalah sistem
politik demokrasi bukan otoriter.
Berdasar hal itu,
sistem politik Indonesia harus dikembangkan atas asas kerakyatan (sila
IV Pancasila). Pengembangan selanjutnya adalah sistem politik didasarkan
pada asas-asas moral daripada sila-sila pada pancasila. Oleh karena
itu, secara berturut-turut sistem politik Indonesia dikembangkan atas
moral ketuhanan, moral kemanusiaan, moral persatuan, moral kerakyatan,
dan moral keadilan.
Perilaku politik,
baik dari warga negara maupun penyelenggara negara dikembangkan atas
dasar moral tersebut sehingga menghasilkan perilaku politik yang santun
dan bermoral.
Pancasila sebagai
paradigma pengembangan sosial politik diartikan bahwa Pancasila bersifat
sosial-politik bangsa dalam cita-cita bersama yang ingin diwujudkan
dengan menggunakan nilai-nilai dalam Pancasila. Pemahaman untuk
implementasinya dapat dilihat secara berurutan-terbalik:
• Penerapan dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan politik, budaya, agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari;
• Mementingkan kepentingan rakyat (demokrasi) bilamana dalam pengambilan keputusan;
• Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan konsep mempertahankan persatuan;
• Dalam pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab;
• Tidak dapat tidak; nilai-nilai keadilan sosial, demokrasi, persatuan, dan kemanusiaan (keadilan-keberadaban) tersebut bersumber pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
• Mementingkan kepentingan rakyat (demokrasi) bilamana dalam pengambilan keputusan;
• Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan konsep mempertahankan persatuan;
• Dalam pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab;
• Tidak dapat tidak; nilai-nilai keadilan sosial, demokrasi, persatuan, dan kemanusiaan (keadilan-keberadaban) tersebut bersumber pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
Di era globalisasi
informasi seperti sekarang ini, implementasi tersebut perlu
direkonstruksi kedalam pewujudan masyarakat-warga (civil society) yang
mencakup masyarakat tradisional (berbagai asal etnik, agama, dan
golongan), masyarakat industrial, dan masyarakat purna industrial.
Dengan demikian, nilai-nilai sosial politik yang dijadikan moral baru
masyarakat informasi adalah:
~ nilai toleransi;
~ nilai transparansi hukum dan kelembagaan;
~ nilai kejujuran dan komitmen (tindakan sesuai dengan kata);
~ bermoral berdasarkan konsensus (Fukuyama dalam Astrid: 2000:3).
~ nilai transparansi hukum dan kelembagaan;
~ nilai kejujuran dan komitmen (tindakan sesuai dengan kata);
~ bermoral berdasarkan konsensus (Fukuyama dalam Astrid: 2000:3).
2. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi
Sesuai dengan
paradigma pancasila dalam pembangunan ekonomi maka sistem dan
pembangunan ekonomi berpijak pada nilai moral daripada pancasila. Secara
khusus, sistem ekonomi harus mendasarkan pada dasar moralitas ketuhanan
(sila I Pancasila) dan kemanusiaan ( sila II Pancasila). Sistem ekonomi
yang mendasarkan pada moralitas dam humanistis akan menghasilkan sistem
ekonomi yang berperikemanusiaan. Sistem ekonomi yang menghargai hakikat
manusia, baik selaku makhluk individu, sosial, makhluk pribadi maupun
makhluk tuhan.
Sistem ekonomi yang berdasar pancasila berbeda dengan sistem ekonomi liberal yang hanya
menguntungkan individu-individu tanpa perhatian pada manusia lain. Sistem ekonomi demikian juga berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem sosialis yang tidak mengakui kepemilikan individu.
menguntungkan individu-individu tanpa perhatian pada manusia lain. Sistem ekonomi demikian juga berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem sosialis yang tidak mengakui kepemilikan individu.
Pancasila bertolak
dari manusia sebagai totalitas dan manusia sebagai subjek. Oleh karena
itu, sistem ekonomi harus dikembangkan menjadi sistem dan pembangunan
ekonomi yang bertujuan pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.
Sistem ekonomi yang berdasar pancasila adalah sistem ekonomi kerakyatan
yang berasaskan kekeluargaan. Sistem ekonomi Indonesia juga tidak dapat
dipisahkan dari nilai-nilai moral kemanusiaan.
Pembangunan ekonomi
harus mampu menghindarkan diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas,
monopoli dan bentuk lainnya yang hanya akan menimbulkan penindasan,
ketidakadilan, penderitaan, dan kesengsaraan warga negara.
Pancasila sebagai
paradigma pengembangan ekonomi lebih mengacu pada Sila Keempat
Pancasila; sementara pengembangan ekonomi lebih mengacu pada pembangunan
Sistem Ekonomi Indonesia. Dengan demikian subjudul ini menunjuk pada
pembangunan Ekonomi Kerakyatan atau pembangunan Demokrasi Ekonomi atau
pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia atau Sistem Ekonomi Pancasila.
Dalam Ekonomi
Kerakyatan, politik/kebijakan ekonomi harus untuk sebesarbesar
kemakmuran/kesejahteraan rakyat—yang harus mampu mewujudkan perekonomian
nasional yang lebih berkeadilan bagi seluruh warga masyarakat (tidak
lagi yang seperti selama Orde Baru yang telah berpihak pada ekonomi
besar/konglomerat). Politik Ekonomi Kerakyatan yang lebih memberikan
kesempatan, dukungan, dan pengembangan ekonomi rakyat yang mencakup
koperasi, usaha kecil, dan usaha menengah sebagai pilar utama
pembangunan ekonomi nasional.
Oleh sebab itu
perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan ini ialah koperasi.
Ekonomi Kerakyatan akan mampu mengembangkan program-program kongkrit
pemerintah daerah di era otonomi daerah yang lebih mandiri dan lebih
mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan pembangunan daerah.
Dengan demikian,
Ekonomi Kerakyatan akan mampu memberdayakan daerah/rakyat dalam
berekonomi, sehingga lebih adil, demokratis, transparan, dan
partisipatif. Dalam
Ekonomi Kerakyatan, Pemerintah Pusat (Negara) yang demokratis berperanan memaksakan pematuhan peraturan-peraturan yang bersifat melindungi warga atau meningkatkan kepastian hukum.
Ekonomi Kerakyatan, Pemerintah Pusat (Negara) yang demokratis berperanan memaksakan pematuhan peraturan-peraturan yang bersifat melindungi warga atau meningkatkan kepastian hukum.
3. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Budaya
Pancasila pada
hakikatnya bersifat humanistik karena memang pancasila bertolak dari
hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana
tertuang dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu,
pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat
manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab. Pembangunan
sosial budaya yang menghasilkan manusia-manusia biadab, kejam, brutal
dan bersifat anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita menjadi manusia
adil dan beradab.
Manusia tidak cukup
sebagai manusia secara fisik, tetapi harus mampu meningkatkan derajat
kemanusiaannya. Manusia harus dapat mengembangkan dirinya dari tingkat
homo
menjadi human. Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam di seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa.
menjadi human. Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam di seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa.
Perlu ada pengakuan
dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok
bangsa Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai
warga bangsa. Dengan demikian, pembangunan sosial budaya tidak
menciptakan kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan ketidakadilan
sosial. Paradigma-baru dalam pembangunan nasional berupa paradigma
pembangunan berkelanjutan, yang dalam perencanaan dan pelaksanaannya
perlu diselenggarakan dengan menghormati hak budaya komuniti-komuniti
yang terlibat, di samping hak negara untuk mengatur kehidupan berbangsa
dan hak asasi individu secara berimbang (Sila Kedua).
Hak budaya komuniti
dapat sebagai perantara/penghubung/penengah antara hak negara dan hak
asasi individu. Paradigma ini dapat mengatasi sistem perencanaan yang
sentralistik dan yang mengabaikan kemajemukan masyarakat dan
keanekaragaman kebudayaan Indonesia. Dengan demikian, era otonomi daerah
tidak akan mengarah pada otonomi suku bangsa tetapi justru akan
memadukan pembangunan lokal/daerah dengan pembangunan regional dan
pembangunan nasional (Sila Keempat), sehingga ia akan menjamin
keseimbangan dan kemerataan (Sila Kelima) dalam rangka memperkuat
persatuan dan kesatuan bangsa yang akan sanggup menegakan kedaulatan dan
keutuhan wilayah NKRI (Sila Ketiga).
Apabila dicermati,
sesungguhnya nilai-nilai Pancasila itu memenuhi kriteria sebagai
puncak-puncak kebudayaan, sebagai kerangka-acuan-bersama, bagi
kebudayaan – kebudayaan di daerah:
(1) Sila Pertama,
menunjukan tidak satu pun sukubangsa ataupun golongan sosial dan
komuniti setempat di Indonesia yang tidak mengenal kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa;
(2) Sila Kedua, merupakan nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh segenap warganegara Indonesia tanpa membedakan asal-usul kesukubangsaan, kedaerahan, maupun golongannya;
(3) Sila Ketiga, mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad masyarakat majemuk di kepulauan nusantara untuk mempersatukan diri sebagai satu bangsa yang berdaulat;
(4) Sila Keempat, merupakan nilai budaya yang luas persebarannya di kalangan masyarakat majemuk Indonesia untuk melakukan kesepakatan melalui musyawarah. Sila ini sangat relevan untuk mengendalikan nilai-nilai budaya yang mendahulukan kepentingan perorangan;
(5) Sila Kelima, betapa nilai-nilai keadilan sosial itu menjadi landasan yang membangkitkan semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikutserta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
(2) Sila Kedua, merupakan nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh segenap warganegara Indonesia tanpa membedakan asal-usul kesukubangsaan, kedaerahan, maupun golongannya;
(3) Sila Ketiga, mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad masyarakat majemuk di kepulauan nusantara untuk mempersatukan diri sebagai satu bangsa yang berdaulat;
(4) Sila Keempat, merupakan nilai budaya yang luas persebarannya di kalangan masyarakat majemuk Indonesia untuk melakukan kesepakatan melalui musyawarah. Sila ini sangat relevan untuk mengendalikan nilai-nilai budaya yang mendahulukan kepentingan perorangan;
(5) Sila Kelima, betapa nilai-nilai keadilan sosial itu menjadi landasan yang membangkitkan semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikutserta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
4. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Hukum
Salah satu tujuan
bernegara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa tugas dan
tanggung jawab tidak hanya oleh penyelenggara negara saja, tetapi juga
rakyat Indonesia secara keseluruhan. Atas dasar tersebut, sistem
pertahanan dan keamanan adalah mengikut sertakan seluruh komponen
bangsa. Sistem pembangunan pertahanan dan keamanan Indonesia disebut
sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata).
Sistem pertahanan
yang bersifat semesta melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan
sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh
pemerintah dan diselenggarakan secara total terpadu, terarah, dan
berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan
keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Penyelenggaraan sistem
pertahanan semesta didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara, serta keyakinan pada kekuatan sendiri.
Sistem ini pada
dasarnya sesuai dengan nilai-nilai pancasila, di mana pemerintahan dari
rakyat (individu) memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam masalah
pertahanan negara dan bela negara. Pancasila sebagai paradigma
pembangunan pertahanan keamanan telah diterima bangsa Indonesia
sebagaimana tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang pertahanan
Negara.
Dalam undang-undang
tersebut dinyatakan bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah
dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap
tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan ditetapkannya
UUD 1945, NKRI telah memiliki sebuah konstitusi, yang di dalamnya
terdapat pengaturan tiga kelompok materi-muatan konstitusi, yaitu:
(1) adanya perlindungan terhadap HAM,
(2) adanya susunan ketatanegaraan
negara yang mendasar, dan
(3) adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang juga mendasar.Sesuai dengan UUD 1945, yang di dalamnya terdapat rumusan Pancasila, Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian dari UUD 1945 atau merupakan bagian dari hukum positif. Dalam kedudukan yang demikian, ia mengandung segi positif dan segi negatif. Segi positifnya, Pancasila dapat dipaksakan berlakunya (oleh negara); segi negatifnya, Pembukaan dapat diubah oleh MPR—sesuai dengan ketentuan Pasal 37 UUD 1945.
(2) adanya susunan ketatanegaraan
negara yang mendasar, dan
(3) adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang juga mendasar.Sesuai dengan UUD 1945, yang di dalamnya terdapat rumusan Pancasila, Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian dari UUD 1945 atau merupakan bagian dari hukum positif. Dalam kedudukan yang demikian, ia mengandung segi positif dan segi negatif. Segi positifnya, Pancasila dapat dipaksakan berlakunya (oleh negara); segi negatifnya, Pembukaan dapat diubah oleh MPR—sesuai dengan ketentuan Pasal 37 UUD 1945.
Hukum tertulis
seperti UUD—termasuk perubahannya—, demikian juga UU dan peraturan
perundang-undangan lainnya, harus mengacu pada dasar negara (sila – sila
Pancasila dasar negara).
Dalam kaitannya
dengan ‘Pancasila sebagai paradigma pengembangan hukum’, hukum (baik
yang tertulis maupun yang tidak tertulis) yang akan dibentuk tidak dapat
dan tidak boleh bertentangan dengan sila-sila:
(1) Ketuhanan Yang Maha Esa,
(2) Kemanusiaan yang adil dan beradab,
(3) Persatuan Indonesia,
(4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
(5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
(2) Kemanusiaan yang adil dan beradab,
(3) Persatuan Indonesia,
(4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
(5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian,
substansi hukum yang dikembangkan harus merupakan perwujudan atau
penjabaran sila-sila yang terkandung dalam Pancasila. Artinya, substansi
produk hukum merupakan karakter produk hukum responsif (untuk
kepentingan rakyat dan merupakan perwujuan aspirasi rakyat).
5. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Kehidupan Umat Beragama Bangsa
Pancasila Sebagai
Paradigma Pembangunan Kehidupan Umat Beragama Bangsa Indonesia sejak
dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah dan santun, bahkan predikat ini
menjadi cermin kepribadian bangsa kita di mata dunia internasional.
Indonesia adalah Negara yang majemuk, bhinneka dan plural. Indonesia
terdiri dari beberapa suku, etnis, bahasa dan agama namun terjalin kerja
bersama guna meraih dan mengisi kemerdekaan Republik Indonesia kita.
Namun akhir-akhir
ini keramahan kita mulai dipertanyakan oleh banyak kalangan karena ada
beberapa kasus kekerasana yang bernuansa Agama. Ketika bicara peristiwa
yang terjadi di Indonesia hampir pasti semuanya melibatkan umat muslim,
hal ini karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Masyarakat
muslim di Indonesia memang terdapat beberapa aliran yang tidak
terkoordinir, sehingga apapun yang diperbuat oleh umat Islam menurut
sebagian umat non muslim mereka seakan-seakan merefresentasikan umat
muslim.
Paradigma toleransi
antar umat beragama guna terciptanya kerukunan umat beragama perspektif
Piagam Madinah pada intinya adalah seperti berikut:
1. Semua umat Islam, meskipun terdiri dari banyak suku merupakan satu komunitas (ummatan wahidah).
2. Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara komunitas Islam dan komunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsi:
a. Bertentangga yang baik
b. Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama
c. Membela mereka yang teraniaya
d. Saling menasehati
e. Menghormati kebebasan beragama.
2. Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara komunitas Islam dan komunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsi:
a. Bertentangga yang baik
b. Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama
c. Membela mereka yang teraniaya
d. Saling menasehati
e. Menghormati kebebasan beragama.
Lima prinsip tersebut mengisyaratkan:
1) Persamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara tanpa diskriminasi yang didasarkan atas suku dan agama;
2) pemupukan semangat persahabatan dan saling berkonsultasi dalam menyelesaikan masalah bersama serta saling membantu dalam menghadapi musuh bersama. Dalam “Analisis dan Interpretasi Sosiologis dari Agama” (Ronald Robertson, ed.) misalnya, mengatakan bahwa hubungan agama dan politik muncul sebagai masalah, hanya pada bangsa-bangsa yang memiliki heterogenitas di bidang agama.
1) Persamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara tanpa diskriminasi yang didasarkan atas suku dan agama;
2) pemupukan semangat persahabatan dan saling berkonsultasi dalam menyelesaikan masalah bersama serta saling membantu dalam menghadapi musuh bersama. Dalam “Analisis dan Interpretasi Sosiologis dari Agama” (Ronald Robertson, ed.) misalnya, mengatakan bahwa hubungan agama dan politik muncul sebagai masalah, hanya pada bangsa-bangsa yang memiliki heterogenitas di bidang agama.
Hal ini didasarkan
pada postulat bahwa homogenitas agama merupakan kondisi kesetabilan
politik. Sebab bila kepercayaan yang berlawanan bicara mengenai
nilai-nilai tertinggi (ultimate value) dan masuk ke arena politik, maka
pertikaian akan mulai dan semakin jauh dari kompromi.
Dalam beberapa tahap
dan kesempatan masyarakat Indonesia yang sejak semula bercirikan
majemuk banyak kita temukan upaya masyarakat yang mencoba untuk membina
kerunan antar masayarakat. Lahirnya lembaga-lembaga kehidupan sosial
budaya seperti “Pela” di Maluku, “Mapalus” di Sulawesi Utara, “Rumah
Bentang” di Kalimantan Tengah dan “Marga” di Tapanuli, Sumatera Utara,
merupakan bukti-bukti kerukunan umat beragama dalam masyarakat.
Ke depan, guna
memperkokoh kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia yang saat
ini sedang diuji kiranya perlu membangun dialog horizontal dan dialog
Vertikal. Dialog Horizontal adalah interaksi antar manusia yang
dilandasi dialog untuk mencapai saling pengertian, pengakuan akan
eksistensi manusia, dan pengakuan akan sifat dasar manusia yang
indeterminis dan interdependen.
Identitas
indeterminis adalah sikap dasar manusia yang menyebutkan bahwa posisi
manusia berada pada kemanusiaannya. Artinya, posisi manusia yang bukan
sebagai benda mekanik, melainkan sebagai manusia yang berkal budi, yang
kreatif, yang berbudaya.
II. Implementasi Pancasila sebagai Paradigma Kehidupam Kampus
Implementasi pancasila sebagai paradigma kehidupan
kampus adalah seperti contoh-contoh paradigma pancasila diatas kehidupan
kampus tidak jauh berbeda dengan kehidupan tatanan Negara. Jadi kampus
juga harus memerlukan tatanan pumbangunan seperti tatanan Negara yaitu
politik, ekonomi, budaya, hukum dan antar umat beragama.
Untuk mencapai tujuan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara maka sebagai makhluk pribadi sendiri dan sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) pada hakikatnya
merupakan suatu hasil kreativitas rohani manusia.
Unsur jiwa manusia meliputi aspek akal, rasa,dan kehendak. Sebagai
mahasiswa yang mempunyai rasa intelektual yang besar kita dapat
memanfaatkan fasilitas kampus untuk mencapai tujuan bersama.
Pembangunanyang merupakan realisasi praksis dalam Kampus untuk
mencapai tujuan seluruh mahsiswa harus mendasarkan pada hakikat manusia
sebagai subyek pelaksana sekaligus tujuan pembangunan. Oleh karena itu
hakikat manusia merupakan sumber nilai bagi pembangunan pengembangan
kampus itu sendiri.