Kejahatan terjadi tidak hanya karena ada niat pelakunya, tapi juga
karena ada kesempatan. Kalimat yang hampir setiap hari disampaikan salah
seorang pembawa acara berita kriminal di salah satu stasiun televisi
swasta itu sangat tepat untuk menggambarkan maraknya korupsi di daerah
sekarang ini.
Sejak kekuasaan didesentralisasikan dari pusat ke kabupaten/kota,
jumlah kasus korupsi di daerah meroket tajam. Dari hari ke hari, makin
banyak saja pejabat, baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi,
yang terjerat kasus korupsi.
Sudah terlalu sering terdengar suara
keprihatinan atas maraknya korupsi di daerah sejak otonomi daerah
(otda) digulirkan satu dasawarsa silam, tapi hingga kini belum ada
solusi mujarab mengatasinya. Kondisi itu membuat tujuan otda tak kunjung
tercapai. Niat menjadikan otda untuk mempercepat peningkatan
kesejahteraan rakyat masih sebatas impian. Masih jauh panggang dari api.
Yang ada hanyalah raja-raja kecil yang kaget menikmati dana APBD yang
berlimpah sebagai buah dari pelaksanaan otda, sementara rakyat dibiarkan
miskin.Lalu apa yang harus dilakukan? Harus ada sanksi hukum
yang berat bagi para koruptor agar muncul efek jera. Selain sanksi
hukum, para koruptor juga harus dijatuhi sanksi sosial, bahkan bila
perlu dibikin melarat dengan mengambil seluruh hartanya yang berasal
dari hasil korupsi. Dengan begitu semua orang akan berpikir seribu kali
untuk memaling uang rakyat atau korupsi.
Jangan justru sebaliknya, menganggap para koruptor hanya ketiban sial atau tertimpa musibah saat tertangkap melakukan korupsi sehingga mereka tetap diterima seperti biasa, bahkan dianggap pahlawan dan mendapat promosi jabatan pula setelah bebas dari penjara. Sikap seperti ini berbahaya bagi gerakan pemberantasan korupsi karena bisa malah menyuburkan praktek tidak terpuji itu. Bahkan, tindakan seperti ini merupakan bentuk penghianatan terhadap gerakan pemberantasan korupsi itu sendiri.
Apapun dalihnya, promosi jabatan kepada mantan napi kasus korupsi tidak pantas dari segi etika dan melukai rasa keadilan masyarakat luas. Para mantan napi kasus korupsi itu sudah cacat secara moral. Seharusnya, mereka dipecat dengan tidak hormat sebagai PNS karena telah terbukti melakukan pelanggaran disiplin berat dengan melakukan korupsi, bukan malah dipromosikan jabatannya.
Kita bukannya menolak otda. Kita tetap melihat otda sebagai solusi mempercepat pencapaian pembangunan di daerah. Kita pun tidak menutup mata atas keberhasilan pembangunan di sejumlah daerah sejak otda digulirkan. Tapi, harus jujur diakui, jumlah daerah yang gagal masih jauh lebih banyak karena dana APBD yang seharusnya digunakan membiayai pembangunan, justru dibelokkan ke kantong para elite politik di daerah, mulai gubernur, bupati/walikota, para kepala dinas hingga anggota DPRD.
Selain tidak adanya efek jera dan sikap sebagian masyarakat yang masih permisif terhadap pelaku korupsi, kita melihat sistem pilkada saat ini juga berpotensi besar menciptakan pemimpin-pemimpin yang korup. Sistem pemilihan yang membutuhkan dana yang sangat besar jelas sangat tidak mendukung bagi hadirnya seorang pemimpin yang anti-korupsi.
Coba bayangkan apa yang akan dilakukan oleh seorang gubernur dan bupati/walikota bila dalam proses pencalonannya dia harus mengeluarkan dana puluhan bahkan ratusan miliar rupiah. Apalagi kalau uang tersebut hasil utangan. Mungkinkah sang kepala daerah tidak tergiur untuk mengumpulkan kembali apa yang sudah dikeluarkannya selama proses pilkada? Silakan Anda jawab sendiri.
Jangan justru sebaliknya, menganggap para koruptor hanya ketiban sial atau tertimpa musibah saat tertangkap melakukan korupsi sehingga mereka tetap diterima seperti biasa, bahkan dianggap pahlawan dan mendapat promosi jabatan pula setelah bebas dari penjara. Sikap seperti ini berbahaya bagi gerakan pemberantasan korupsi karena bisa malah menyuburkan praktek tidak terpuji itu. Bahkan, tindakan seperti ini merupakan bentuk penghianatan terhadap gerakan pemberantasan korupsi itu sendiri.
Apapun dalihnya, promosi jabatan kepada mantan napi kasus korupsi tidak pantas dari segi etika dan melukai rasa keadilan masyarakat luas. Para mantan napi kasus korupsi itu sudah cacat secara moral. Seharusnya, mereka dipecat dengan tidak hormat sebagai PNS karena telah terbukti melakukan pelanggaran disiplin berat dengan melakukan korupsi, bukan malah dipromosikan jabatannya.
Kita bukannya menolak otda. Kita tetap melihat otda sebagai solusi mempercepat pencapaian pembangunan di daerah. Kita pun tidak menutup mata atas keberhasilan pembangunan di sejumlah daerah sejak otda digulirkan. Tapi, harus jujur diakui, jumlah daerah yang gagal masih jauh lebih banyak karena dana APBD yang seharusnya digunakan membiayai pembangunan, justru dibelokkan ke kantong para elite politik di daerah, mulai gubernur, bupati/walikota, para kepala dinas hingga anggota DPRD.
Selain tidak adanya efek jera dan sikap sebagian masyarakat yang masih permisif terhadap pelaku korupsi, kita melihat sistem pilkada saat ini juga berpotensi besar menciptakan pemimpin-pemimpin yang korup. Sistem pemilihan yang membutuhkan dana yang sangat besar jelas sangat tidak mendukung bagi hadirnya seorang pemimpin yang anti-korupsi.
Coba bayangkan apa yang akan dilakukan oleh seorang gubernur dan bupati/walikota bila dalam proses pencalonannya dia harus mengeluarkan dana puluhan bahkan ratusan miliar rupiah. Apalagi kalau uang tersebut hasil utangan. Mungkinkah sang kepala daerah tidak tergiur untuk mengumpulkan kembali apa yang sudah dikeluarkannya selama proses pilkada? Silakan Anda jawab sendiri.